KH Ahmad Dahla
Bernama kecil Muhammad Darwisy, Lahir di Kampung Kauman di sebelah barat Alun-alun Utara Yogyakarta sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta. Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November 1912.
Muhammad
 Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat alim, yaitu
 KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta) dan Nyai
 Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Muhammad 
Darwisy merupakan anak keempat dari tujuh saudara yang lima diantaranya 
perempuan, kecuali adik bungsunya. Tak ada yang menampik silsilah 
Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari Maulana Malik 
Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo, serta 
dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam 
di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah 
itu: Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad 
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru 
Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng 
Gribig (Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 
‘Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 
1968: 6).
Muhammad
 Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan sekaligus 
menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia 
menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan 
dengan menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. 
Di sinilah ia berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam 
dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu 
Taimiyah. Buah pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang 
besar pada Darwis. Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran 
pembaharuan ini yang kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan 
yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah, yang bertujuan untuk 
memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia 
Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ortodoksi ini 
dipandang menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan 
dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Oleh karena itu, pemahaman 
keagamaan yang statis ini harus dirubah dan diperbaharui, dengan gerakan
 purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur’an 
dan al-Hadis.
Pada
 usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama Haji 
Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang pulang 
haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya). 
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di
 lingkungan Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan 
ibadah haji untuk kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu
 agama kepada beberapa guru di Makkah.
Sepulang
 dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, saudara sepupunya sendiri,
 anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad 
Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari 
perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang
 anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti 
Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu, K.H. 
Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia 
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad 
Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah 
(adik Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah 
pula menikah dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 
1968: 9).
Ahmad
 Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam kehidupan 
sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab 
untuk dirinya sendiri:
“Wahai
 Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa 
yang akan mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin 
engkau mampu melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan
 binasa karenanya. Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah 
engkau berada seorang diri bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi 
kematian, pengadilan, hisab, surga, dan neraka. Dan dari sekalian yang 
engkau hadapi itu, renungkanlah yang terdekat kepadamu, dan 
tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi Hadikusumo).


